C59, bukan sekedar bisnis fashion. Praktik Inclusive Business dalam Konteks M4P
Siapa tak mengenal brand t-shirt superior quality dari
Bandung yang eksis sejak tahun 1980. Hampir sebagian besar generasi
tersebut dan saat ini pernah mendengar dan menggunakan salah satu produk
utamanya kaos. Brand nasional yang pada awalnya banyak memiliki cabang
di kota-kota besar Indonesia ini sejak 10 tahun lalu telah merubah model
bisnisnya. Sebagai pioneer kaos retail, C59telah beberapa kali merubah
model bisnisnya dari retail, kemudian order atau custom made, dan
sekarang kombinasi dengan menyupport klien mulai dari kalangan komunitas
hingga institusi seperti perusahaan, pemerintah, dll.
Marius Widyarto atau yang dikenal dengan
panggilan Mas Wied memang memiliki jiwa entrepreneur kuat yang terbukti
sejak awal bekerja merintis C59 hingga sekarang.Bukan hanya jiwa
entrepreneur namun ada passion di dalamnya.Hanya bermodalkan
satu mesin jahit dari ruang produksi di gankkecil Jl. Caladi No 59, Kota
Bandung kemudian berkembang hingga memiliki lebih dari 300 karyawan.
Mas Wiwied yang merupakan tokoh Bandung dari kalangan entrepreneur ini
sering mendedikasikan sebagian waktunya untuk mengajarkan apa itu
wirausaha, mengapa kita harus berani menjadi wirausaha dan bagaimana
memulainya.Tentunya semangat tersebut didukung oleh perusahaan sehingga
model bisnisnya sangat mengakar dikalangan berbagai komunitas di
Indonesia.
Bermodalkan pengalaman selama 37 tahun,
disadari bahwa model bisnis perusahaan tidak akan sustain jika
perusahaan tersebut tidak ambil peran dalam memperkuat hubungan dengan
manusia, saling memberdayakan. Konteks strategi bisnis C59 ini sejalan
dengan prinsip bisnis berkelanjutan (sustainable business) yang mengedepankan inovasi dalam praktiknya melalui Bisnis Inklusif (Inclusive Business).
Beberapa prinsip bisnis yang inklusif telah diterapkan oleh C59 diantaranya melibatkan masyarakat tingkat ekonomi rendah atauvulnerable people
(kurang berdaya, miskin, perempuan, indigenous people, dll) dalam
rantai bisnisnya. Dalam praktik C59 diantaranya sebagai karyawan,
distributor, dan juga konsumen.Intinya bagaimana masyarakat kelompok
miskin yang masuk dalam piramida penduduk paling bawah (the bottom of pyramid)
terlibat aktif dan memperoleh benefit secara ekonomi secara
berkelanjutan. Berkembangnya perusahaan akan memberikan dampak bagi
kelompok tersebut, demikian juga sebaliknya.
Salah satu contoh penerapan konsep
bisnis inklusif adalah bekerja bersama masyarakat asli (indigenous
people) dari tujuh suku di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat melalui
program Tangguh Indigenous Entreprises Development Program (TIEDP).
Saat ini telah berdiri unit bisnis garment di Teluk Bintuni dengan
support baik bisnis maupun non bisnis seperti supply bahan baku,
beberapa varian produk, pelatihan ketrampilan dan management kepada
mereka. Ujungnya adalah kedua belah pihak akan saling bekerjasama dalam
jangka waktu panjang untuk menumbuhkan kewirausahaan di daerah sasaran.
Beberapa praktik lainnya di beberapaw ilayah Indonesia memperkuat model
bisnis melalui pemberdayaan komunitas melalui pemuda.
Dalam kata lain model bisnis C59 bukan hanya memproduksi fashion, namun
lebih dari itu mengemas sumber daya lokal menjadi produk (barangdanjasa)
yang memiliki daya tawar ekonomi. Perusahaan C59 sebagai profit company
berperan dalam konteks pembangunan manusia lepas dari kemiskinan
tentunya dalam design membuat pasar/mekanisme pasar mampu melibatkan dan
memberdayakan masyarakat miskin (baca: Making Markets Works for the Poor / M4P).
Comments
Post a Comment